Kisah Pemimpin Islami : Salma Al Farisi

Kisah seorang pemimpin yang zuhud dan sholeh yang patut menjadi panutan kita semua. Sosok pemimpin itu adalah Salman al Farisi, salah seorang sahabat Rasulullah. Tatkala masa kekhalifahan Umar bin Khattab, Salman diangkat untuk menjadi Gubernur Kufah.

Mendengar gubernur baru akan datang, para penduduk Kufah lantas memadati jalan raya untuk menyambut kedatangannya. Mereka menyangka Sang Gubernur akan diiringi oleh rombongan besar pasukan. Namun ternyata mereka salah, Salman al Farisi datang ke kota itu sendirian dan hanya menunggang seekor keledai. Dia duduk di atasnya sambil memegang tulang berdaging yang digigitnya sedikit demi sedikit.

Melihat ada orang asing yang datang, maka para penduduk pun bertanya. “Apakah di jalan kau melihat Salman al Farisi yang diutus oleh Khalifah Umar bin Khattab?”

“Akulah Salman al Farisi,” jawabnya singkat

“Jangan mengejek dan mencibir kami, seperti Bani Israil ketika berkata kepada Musa, ‘Apakah engkau mengejek kami?’ Musa menjawab, ‘Aku berlindung kepada Allah sekiranya menjadi seorang dari orang-orang yang jahil.” Kata penduduk Kufah mengutip surah al Baqarah ayat 67.

“Aku berlindung kepada Allah sekiranya aku menjadi satu dari orang-orang yang jahil. Ini bukan waktunya lagi untuk bercanda,” kata Salman.

Para penduduk tidak mempercayai keadaan Salman. Bagaimana tidak? Sebab penduduk Irak hidup berdampingan dengan negara Persia yang memiliki istana yang megah dan menjulang tinggi yang dipenuhi emas, perah, sutra dan permadani yang indah. Penduduk Kufah mengira bahwa agama Islam adalah agama yang megah dan mewah. Tapi ternyata mereka salah.

Salman pun berkata, “Tidak, kami datang secara bersahaja. Kami hidup untuk jiwa, dan kami datang untuk mengangkat derajat iman di dalam hati.”

Salman pun menjadi Gubernur Kufah dan ia mendapatkan gaji dari Umar ibnu Khattab. Ia membagi gajinya menjadi 3 bagian, sepertiga untuk dirinya, sepertiga untuk hadiah dan sepertiga sisanya untuk sedekah.

-----

Alkisah suatu hari, ketika sedang berjalan, Salman Al Farisi berjumpa dengan seorang laki-laki dari negeri Syam yang membawa sepikul buah tin dan kurma. Rupanya beban itu amat berat dan melelahkannya. Ketika itu Salman berpenampilan biasa dan tampak seperti dari golongan orang tak punya. Laki-laki itu berpikir hendak menyuruh Salman membawa buah-buahan yang dipikulnya dengan imbalan yang pantas sesampainya di tujuan.
Laki-laki itu memanggil Salman dan Salman mendekat. Laki-laki itu berkata pada Salman, “tolong bawakan barangku ini!” Maka Salman mengangkat barang itu dan mereka berdua berjalan bersama-sama.

Di tengah jalan, mereka berpapasan dengan satu rombongan. Salman mengucapkan salam pada rombongan tersebut. Rombongan itu berhendi dan menjawab salamnya, “kesejahteraan untuk Walikota.”

Laki-laki Syam itu berkata dalam hati, “juga kepada Walikota? Siapa yang mereka maksud?” Keheranannya semakin bertambah ketika beberpa orang dari rombongan itu bergegas mendekat dan berkata, “biarkan kami yang membawanya.”

Barulah laki-laki Syam tersebut sadar, bahwa kuli panggulnya itu adalah Salman Al Farisi, Walikota Madain. Ia menjadi gugup, kata-kata penyesalan dan permintaan maaf mengalir dari bibirnya. Dia mendekat hendak mengambil barang yang dipikul oleh Salman Al Farisi, tetapi Salman menolak. Ia berkata, “tidak, biar kuantar sampai rumahmu.”

 -----

Pada suatu waktu, Salman berkeinginan untuk menggenapkan dien dengan menikah. Selama ini, ia juga diam-diam menyukai seorang wanita salehah dari kalangan Anshar. Namun ia tak berani melamarnya. Sebagai seorang imigran, ia merasa asing dengan tempat tinggalnya, Madinah.

Bagaimana adat melamar wanita di kalangan masyarakat Madinah? Bagaimana tradisi Anshar saat mengkhitbah wanita? Demikian yang dipikirkan Salman. Ia tak tahu menahu mengenai budaya Arab. Tentu saja tak bisa sembarangan tiba-tiba datang mengkhitbah wanita tanpa persiapan matang.

Salman pun kemudian mendatangi seorang sahabatnya yang merupakan penduduk asli Madinah, Abu Darda’. Ia bermaksud meminta bantuan Abu Darda’ untuk menemaninya saat mengkhitbah wanita impiannya. Mendengarnya, Abu Darda’ pun begitu girang. “Subhanallah wa Alhamdulillah,” ujarnya begitu senang mendengar sahabatnya berencana untuk menikah. Ia pun memeluk Salman dan bersedia membantu dan mendukungnya.

Setelah beberapa hari mempersiapkan segala sesuatu, Salman pun mendatangi rumah sang gadis dengan ditemani Abu Darda’. Keduanya begitu gembira. Setoiba di rumah wanita shalehah tersebut, keduanya pun diterima dengan baik oleh tuan rumah.

“Saya adalah Abu Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman dari Persia. Allah telah memuliakan Salman dengan Islam. Salman juga telah memuliakan Islam dengan jihad dan amalannya. Ia memiliki hubungan dekat dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan Rasulullah menganggapnya sebagai ahlu bait (keluarga) nya,” ujar Abu Darda’ menggunakan dialek bahasa Arab setempat dengan sangat lancar dan fasih.

“Saya datang mewakili saudara saya, Salman, untuk melamar putri anda,” lanjut Abu Darda’ kepada wali si wanita, menjelaskan maksud kedatangan mereka.

Mendengarnya, si tuan rumah merasa terhormat. Tentu saja, ia kedatangan dua orang sahabat Rasulullah yang utama. Salah satunya bahkan berkeinginan melamar putrinya. “Sebuah kehormatan bagi kami menerima shabat Rasulullah yang mulia. Sebuah kehormatan pula bagi keluarga kami jika memiliki menantu dari kalangan shahabat,” ujar ayah si wanita.

Namun sang ayah tidaklah kemudian segera menerimanya. Seperti yang diajarkan Rasulullah, ia harus bertanya pendapat putrinya mengenai lamaran tersebut. Meski yang datang adalah seorang shahabat Rasul, sang ayah tetap meminta persetujuan sang putrid.

“Jawaban lamaran ini merupakan hak putri kami sepenuhnya. Oleh karena itu, saya serahkan kepada putri kami,” ujarnya kepada Abu Darda’ dan Salman AL Farisi.

Sang tuan rumah pun kemudian memberikan isyarat kepada istri dan putrinya yang berada dibalik hijab. Rupanya, putrinya telah menanti memberikan pendapatnya mengenai pria yang melamarnya. Mewakili sang putrid, ibunya pun berkata, “Mohon maaf kami perlu berterus terang,” ujarnya membuat Salman dan Abu Darda’ tegang menanti jawaban.

“Maaf atas keterusterangan kami. Putri kami menolak lamaran Salman,” jawab ibu si wanita tentu saja akan menghancurkan hati Salman. Namun Salman tegar.

Tak sampai disitu, sang ibunda melanjutkan jawaban putrinya, “Namun karena kalian berdua lah yang datang, dan mengharap ridha Allah, saya ingin menyampaikan bahwa putri kami akan menjawab iya jika Abu Darda’ memiliki keinginan yang sama seperti Salman,” kata ibu si wanita shalihah idaman Salman, wanita yang Salman inginkan untukmenjadi istrinya, wanita yang karenanya ia meminta bantuan Abu Darda’ untuk membantu pinangannya. Namun justru wanita itu memilih Abu Darda’, yang hanya menemani Salman.

Jika seperti pria pada umumnya, maka hati Salman pasti hancur berkeping-keeping. Ia akan merasakan patah hati yang teramat sangat. Namun Salman merupakan pria shaleh, seorang mulia dari kalangan shahabat Rasulullah. Dengan ketegaran hati yang luar biasa, ia justru menjawab, “Allahu akbar!” seru Salman girang.

Tak hanya itu, Salman justru menawarkan bantuan untuk pernikahan keduanya. Tanpa perasaan hati yang hancur, ia memberikan semua harta benda yang ia siapkan untuk menikahi si wanita itu. “Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan akan kuberikan semua kepada Abu Darda’. Aku juga akan menjadi saksi pernikahan kalian,” ujar Salman dengan kelapangan hati yang begitu hebat.

Demikian kisah cinta shabat Rasulullah yang mulia, Salman Al Farisi. Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari kisah tersebut. Ketegaran hati Salman patut dijadikan uswah. Ia pun tak kecewa dengan apa yang belum ia miliki meski ia sangat menginginkannya.

Semoga Allah meridhai Salman dan menempatkannya pada surga yang tertinggi.

-----

Menjelang wafat, dalam keadaan masih menjadi gubernur, para penduduk melihat harta warisan yang akan ditinggalkannya. Ternyata harta yang dimilikinya hanyalah sorbann besar yang ia gunakan untuk alas duduk ketika ada tamu yang datang serta ia gunakan untuk duduk di pengadilan yang ia adakan. Selain itu, ia memiliki sebuah tongkat yang ia gunakan untuk bertopang, berkhutbah dan menjaga diri; serta sebuah wadah untuk makan, mandi dan berwudhu.

Saat sakaratul maut, Salman menangis. Penduduk Kufah pun bertanya, “Kenapa engkau menangis?”

“Aku menangis karena Rasulullah saw pernah bersabda kepada kami, Hendaklah bekal kalian di dunia seperti bekal orang yang bepergian. Sementara kita semua lebih suka menumpuk harta dunia.” Demikian Salman mengutip hadits yang diriwayatkan Ahmad.

Penduduk lantas menjawab, “Semoga Allah mengampunimu. Lantas sebanyak apa harta yang kau miliki Salman?”

“Apa kalian meremehkan ini? Aku takut pada hari kiamat akan ditanya tentang sorban, tongkat dan wadah ini”

Sungguh sebuah kisah yang sangat mulia tentang betapa zuhudnya seorang Salman al Farisi. Di saat para pemimpin berebutan kekuasaan, berebutan harta dan kekayaan, beliau hidup dengan sangat sederhana tanpa memiliki harta sama sekali.

Begitu takutnya beliau akan tanggung jawab yang harus diberikannya kepada Allah di hari kiamat tentang hartanya yang hanya berupa sorban, tongkat dan wadah. Sementara, banyak sekali orang yang tidak lagi peduli dari mana hartanya berasal, dan tidak lagi takut akan pertanggungjawabannya kelak di hari akhir.

Mungkin kita semua tidak dapat sezuhud beliau, tapi semoga kita semua bisa menjaga diri kita untuk mengumpulkan harta yang haram dan tidak jelas asal usulnya.

Semoga kisah ini bermanfaat bagi kita semua.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kematian Menurut Islam

Doa Pernikahan

Doa-doa Nabi dan Rasul yang Mustajab