NUR MUHAMMAD
HAKIKAT NUR MUHAMMAD.
Alimul Fadhil H. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani al-Banjari (Guru Sekumpul) pernah menyinggung dan menguraikan pembahasan tentang salah satu tema yang selalu aktual diperbincangkan dalam dunia tasawuf, yakni wacana tentang ‘Nur Muhammad’ dalam salah satu pengajian beliau di Komplek al-Raudah Sekumpul Martapura.
Untuk membutiri kembali pandangan tentang Nur Muhammad dimaksud seiring dengan peringatan haul beliau yang ke-5 tahun ini (5 Rajab 1431 H ─ 17 Juni 2010 M) berikut tulisan ini dihadirkan guna pencerahan.
Apakah yang dimaksud dengan Nur Muhammad tersebut?
Dalam kitab Hikayat Nur Muhammad diceritakan bahwa tubuh manusia (anak Adam) mengandungi tiga unsur, yakni jasad, hati dan roh. Di dalam roh terdapat hakikat, di dalam hakikat tersimpan rahasia, rahasia itulah yang dinamakan makrifah Allah. Di dalam makrifah pula ada zat yang tidak menyerupai sesuatu pun.
Rahasia atau makrifah Allah ini dinamakan Insan Kamil. Insan Kamil dijadikan dari Nur yang melimpah dari zat Haqq Ta’ala.
Menurut riwayat, sumber cerita tentang kejadian Nur Muhammad ini bermula dari biografi Nabi Muhammad yang ditulis oleh Ibnu Ishaq (sejarawan Islam). Dalam biografi tersebut, Ibnu Ishaq ada mencatat riwayat yang menyatakan bahwa Allah telah menciptakan Nur Muhammad dan Nur itu telah diwarisi melalui generasi nabi-nabi hingga ia sampai kepada Abdullah bin Abdul Muthalib dan turun kepada Nabi Muhammad Saw.
Kemudian terdapat sejumlah hadits yang menerangkan tentang Nur tersebut, antaranya, “Sesungguhnya yang mula-mula dijadikan oleh Allah adalah cahaya-ku (Nur Muhammad)………”.
Beragam pandangan terhadap hadis ini, ada yang menyatakan maudhu’ (tertolak), dhaif (lemah), bersumber dari falsafah Yunani, tetapi ada pula yang menyatakan bahwa riwayat tersebut boleh diterima karenanya sanadnya bersambung.
Hadits tersebut cukup panjang matannya dan diringkas sebagai berikut: “Dan telah meriwayatkan oleh Abdul Razak dengan sanadnya dari Jabir bin Abdullah ra, beliau berkata: “Ya Rasulullah, demi bapaku, engkau dan ibuku, khabarkanlah daku berkenaan awal-awal sesuatu yang Allah telah ciptakan sebelum sesuatu! Bersabda Nabi Saw: “Ya Jabir, sesungguhnya Allah menciptakan sebelum sesuatu, Nur Nabi-mu daripada Nur-Nya’.
Maka jadilah Nur tersebut berkeliling dengan Qudrat-Nya sekira-kira yang dihendaki Allah. Padahal tiada pada waktu itu lagi sesuatu pun; tidak ada lauh mahfuzh, qalam, sorga, neraka, Malaikat, langit, bumi, matahari, bulan, jin dan manusia; tiada apa-apa yang diciptakan, kecuali Nur ini.
Dari Nur inilah kemudian diciptakan-Nya qalam, lauh mahfuzh dan Arsy. Allah kemudian memerintahkan qalam untuk menulis, dan qalam bertanya, “Ya Allah, apa yang harus saya tulis?” Allah berfirman: “Tulislah La ilaha illallah Muhammad Rasulullah.” Atas perintah itu qalam berseru: “Oh, betapa sebuah nama yang indah dan agung Muhammad itu, bahwa dia disebut bersama Asma-Mu yang Suci, ya Allah.” Allah kemudian berkata, “Wahai qalam, jagalah kelakuanmu ! Nama ini adalah nama kekasih-Ku, dari Nur-nya Aku menciptakan arsy, qalam dan lauh mahfuzh; kamu, juga diciptakan dari Nur-nya. Jika bukan karena dia, Aku tidak akan menciptakan apa pun.”
Ketika Allah telah mengatakan kalimat tersebut, qalam itu terbelah dua karena takutnya akan Allah dan tempat dari mana kata-katanya tadi keluar menjadi tertutup, sehingga sampai dengan hari ini ujung nya tetap terbelah dua dan tersumbat, sehingga dia tidak menulis, sebagai tanda dari rahasia ilahiah yang agung.
Maka, jangan seorangpun gagal dalam memuliakan dan menghormati Nabi Suci, atau menjadi lalai dalam mengikuti contohnya (Nabi) yang cemerlang, atau membangkang dan meninggalkan kebiasaan mulia yang diajarkannya kepada kita.………dan seterusnya.
Bagaimana penjelasan Guru Sekumpul tentang Nur Muhammad tersebut? Secara ringkas penjelasan beliau sebagaimana konten materi pengajian yang bertemakan tentang ‘Kesempurnaan’ (penjelasan ini bahkan beliau ulang-ulang tidak kurang dari tiga kali) boleh diringkaskan sebagai berikut:
Beliau memulai penjelasannya dengan ungkapan yang sangat dikenal dalam dunia tasawuf, di mana untuk mengenal Tuhan seseorang harus terlebih dahulu mengenal akan dirinya.
Maksudnya, untuk sampai kepada pengenalan terhadap Tuhan, menurut Guru Sekumpul haruslah terlebih dahulu dipahami dua hal.
Pertama, ia harus terlebih dahulu mengenal asal mula akan kejadian dirinya sendiri, dari mana, di mana dan bagaimana ia dijadikan?
Kedua, ia harus terlebih dahulu mengetahui apa sesuatu yang mula-mula dijadikan oleh Allah SWT.
Kedua perkara di atas menjadi prasyarat kesempurnaan bagi para penuntut (salik) dalam mengenal (makrifah) kepada Allah.
Adapun yang mula-mula dijadikan oleh Allah adalah Nur Muhammad SAW yang kemudiannya dari Nur Muhammad inilah Allah jadikan roh dan jasad alam semesta.
Bermula dari Nur Muhammad inilah maka sekalian roh (dan roh manusia) diciptakan Allah sedangkan jasad manusia diciptakan mengikut kepada dan dari jasad Nabi Adam as. Karena itu, Nabi Muhammad Saw adalah ‘nenek moyang roh’ sedangkan Nabi Adam as adalah ‘nenek moyang jasad’.
Hakikat dari penciptaan Adam as sendiri adalah berasal dari tanah (Nur Turab), tanah berasal dari air, air berasal dari angin, angin berasal dari api, dan api itu sendiri berasal dari Nur Muhammad.
Sehingga pada prinsipnya roh manusia diciptakan berasal dari Nur Muhammad dan jasad atau tubuh manusia pun hakikatnya berasal dari Nur Muhammad. Jadilah kemudian ‘cahaya di atas cahaya’ (QS. An-Nuur 35), di mana roh yang mengandung Nur Muhammad ditiupkan kepada jasad yang juga mengandung Nur Muhammad.
Bertemu dan meleburlah kemudian roh dan jasad yang berisikan Nur Muhammad ke dalam hakikat Nur Muhammad yang sebenarnya. Tersebab bersumber pada satu wujud dan nama yang sama, maka roh dan jasad tersebut haruslah disatukan dengan mesra menuju kepada pengenalan Yang Maha Mutlak, Zat Wajibul Wujud yang memberi cahaya kepada langit dan bumi, dan yang semula menciptakan, sebagaimana mesranya hubungan antara air dan tumbuhan, di mana ada air di situ ada tumbuhan, dan dengan airlah segala makhluk dihidupkan (QS. Al-Anbiya 30).
Pengenalan terhadap hakikat Nur Muhammad inilah maqam atau stasiun yang terakhir dari pencarian akan makrifah kepada Allah, Martabat Nur Muhammad inilah martabat yang paling tinggi, dan pengenalan akan Nur Muhammad inilah yang menjadi ‘kesempurnaan ilmu atau ilmu yang sempurna’.
Menarik untuk mengkaji ulang penjelasan Guru Sekumpul di atas dengan membandingkannya kepada penjelasan tokoh-tokoh tasawuf yang juga membahas dan menyinggung tentang wacana ini.
Al-Hallaj yang mencetuskan teori hulul misalnya menyatakan bahwa Nur Muhammad mempunyai dua bentuk, yakni Nabi Muhammad yang dilahirkan dan menjadi cahaya rahmat bagi alam “tidaklah engkau diutus wahai (Muhammad Rasulullah Saw) melainkan menjadi rahmat bagi seluruh alam” (martabat al-a’yanu’l Kharijiyyah) dan yang berbentuk Nur (martabat a’yanu’l Thabitah).
Nur Muhammad adalah cahaya semula yang melewati dari Nabi Adam ke nabi yang lain bahkan berlanjut kepada para imam maupun wali; cahaya melindungi mereka dari perbuatan dosa (maksum); dan mengaruniai mereka dengan pengetahuan tentang rahasia-rahasia Illahi.
Allah telah menciptakan Nur Muhammad jauh sebelum diciptakan Adam as. Lalu, Allah menunjukkan kepada para malaikat dan makhluk lainnya, bahwa: “Inilah makhluk Allah yang paling mulia”. Oleh itu, harus dibedakan antara konsep Nur (Muhammad) sebagai manusia biasa (seorang Nabi) dan Nur Muhammad secara dimensi spiritual yang tidak dapat digambarkan dalam dimensi fisik dan realitas.
Menurut sufi, Muhyiddin Ibn Arabi, Nur Muhammad sebagai prinsip aktif di dalam semua pewahyuan dan inspirasi. Melalui Nur ini pengetahuan yang kudus itu diturunkan kepada semua nabi, tetapi hanya kepada Ruh Muhammad saja diberikan jawami al-qalim (firman universal).
Sedangkan menurut pencetus teori ‘insan kamil’, Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili (1365-1428 M) dalam karyanya, al-Insan al-Kamil fî Ma’rifat al-Awakhir wa al-Awa’il (Manusia Sempurna dalam Mengetahui Allah Sejak Awal hingga Akhirnya), menyatakan bahwa Nur Muhammad memiliki banyak nama sebanyak aspek yang dimilikinya. Ia disebut ruh dan malak apabila dikaitkan dengan ketinggiannya.
Tidak ada kekuasaan makhluk yang melebihinya, semuanya tunduk mengitarinya, karena ia kutub dari segenap malak. Ia disebut al-Haqq al Makhluq bih, (al-Haqq sebagai alat pencipta), hanya Allah yang tahu hakikatnya secara pasti. Dia disebut al-Qalam al-A’la (pena tertinggi) dan al-Aql al-Awal (akal pertama) karena wadah pengetahuan Tuhan terhadap alam maujud, dan Tuhanlah yang menuangkan sebagian pengetahuannya kepada makhluk.
Adapun disebut al-Ruh al-Ilahi (ruh ketuhanan) karena ada kaitannya dengan ruh al-Quds (ruh Tuhan), al-Amin (ruh yang jujur) adalah karena ia adalah perbendaharaan ilmu tuhan dan dapat dipercayai-Nya. Oleh itu, menurut Al-Jili, lokus tajalli al-Haq yang paling sempurna adalah Nur Muhammad. Nur Muhammad ini telah ada sejak sebelum alam ini ada, ia bersifat qadim lagi azali. Nur Muhammad itu berpindah dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam berbagai bentuk para nabi, yakni Adam, Nuh, Ibrahim, Musa hingga dalam bentuk nabi penutup (khatamun nabiyyin), Muhammad Saw.
Banyak lagi penjelasan dan pembahasan tentang Nur Muhammad dimaksud. Karena, memang sejak awal kedatangan dan perkembangan Islam di ‘Bumi Nusantara’, wacana Nur Muhammad dalam berbagai konteksnya sehingga sekarang, telah menarik perhatian umat Islam. Hal ini paling tidak didukung oleh tiga faktor.
Pertama, terlihat dari banyaknya salinan yang beredar pada masa itu berkenaan dengan ‘Hikayat Nur Muhammad’ Misalnya, Hikayat Nur Muhammad naskah Betawi yang disalin pada tahun 1668 M oleh Ahmad Syamsuddin Syah. Menurut Ali Ahmad (2005) sehingga sekarang, sekurang-kurangnya terdapat tujuh versi Hikayat Nur Muhammad.
Kedua, apresiasi terhadap konsep Nur Muhammad telah mendorong lahirnya karya klasik ulama Nusantara yang secara khusus berisikan pembahasan tentang teori ini. Antaranya adalah kitab Asrar al-Insan fi Makrifah al-Ruh wa al-Rahman karya Nuruddin al-Raniri (Aceh), tiga kitab karangan Hamzah Fansuri (Barus-Aceh); Asrar al-‘Arifin, Syarab al-‘Asyiqin, dan al-Muntahi, serta Nur al-Daqa’iq oleh Syamsuddin al-Sumaterani (Pasai).
Dalam kitab Asrar al-Insan dijelaskan bahwa Allah menjadikan Nur Muhammad dari tajalli (manifestasi) sifat Jamal-Nya dan Jalal-Nya, maka jadilah Nur Muhammad itu khalifah di langit dan di bumi; Nur Muhammad adalah asal segala kejadian di langit dan di bumi.
Di dalam kitab Asrar al-’Arifin dibincangkan teori wahdah al-wujud yang semula diperkenalkan oleh Abdullah Arif dalam Bahr al-Lahut dan Ibnu Arabi, kemudian dikembangkan lagi oleh Muhammad bin Fadhlullah al-Burhanpuri melalui teori Martabat Tujuh dalam kitab Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabi.
Kemudian, dalam al-Muntahi, Hamzah menyatakan bahwa wujud itu satu yaitu wujud Allah yang mutlak. Wujud itu bertajalli dalam dua martabat; ahadiyah dan wahidiyah. Dalam kitab Nur al-Daqa’iq juga dibahas tentang wujudiyah dan martabat tujuh.
Variasi teori Nur Muhammad dalam bentuk martabat tujuh boleh didapati pembahasannya dalam beberapa kitab yang ditulis oleh ulama Melayu Nusantara, antaranya adalah dibahas dalam kitab Siyarus Salikin yang dikarang oleh Syekh Abdul Shamad al-Palimbani; kitab Manhalus Syafi (Uthman el-Muhammady, 2003) yang dikarang oleh Syekh Daud bin Abdullah al-Fathani;
Pengenalan terhadap Ajaran Martabat Tujuh yang dikarang atau dinukilkan kepada Syekh Abdul Muhyi Pamijahan; dan kitab al-Durr al-Nafis yang di karang oleh Syekh Muhammad Nafis al-Banjari. Oleh itu, Syekh Muhammad Nafis al-Banjari dengan kitabnya Al-Durr al-Nafis ditegaskan oleh Wan Mohd Shagir Abdullah (2000) sebagai salah seorang ulama Banjar penganjur ajaran tasawuf Martabat Tujuh di Nusantara.
Dalam teori martabat tujuh dipahami bahwa dunia manusia merupakan dunia perubahan dan pergantian, tidak ada sesuatu yang tetap di dalamnya. Segalanya akan selalu berubah, memudar, dan setelah itu akan mati. Oleh karena itulah, manusia ingin berusaha mengungkap hakikat dirinya agar dapat hidup kekal seperti Yang Menciptakannya.
Untuk mengungkap hakikat dirinya, manusia memerlukan seperangkat pengetahuan batin yang hanya dapat dilihat dengan mata hati yang ada dalam sanubarinya. Seperangkat pengetahuan yang dimaksud adalah ilmu ma‘rifatullah.
Ilmu ma’rifatullah merupakan suatu pengetahuan yang dapat dijadikan pedoman bagi manusia untuk mengenal dan mengetahui Allah. Ilmu ma‘rifatullah terbahagi menjadi dua macam, yaitu ilmu ‘makrifat tanzih’ (transeden) dan ‘ilmu makrifat tasybih’ (imanen).
Tuhan menyatakan diri-Nya dalam Tujuh Martabat, yaitu martabat pertama disebut martabat tanzih (la ta‘ayyun atau martabat tidak nyata, tak terinderawi) dan martabat kedua sampai dengan martabat ketujuh disebut martabat tasybih (ta‘ayyun atau martabat nyata, terinderawi).
Yakni, martabat Ahadiyyah (ke-’ada’-an Zat yang Esa); martabat Ahadiyyah (ke-’ada’-an Zat yang Esa); martabat Wahidiyyah (ke-’ada’-an asma yang meliputi hakikat realitas keesaan); Keempat, martabat Alam Arwah; martabat Alam Mitsal; martabat Alam Ajsam (alam benda); dan martabat Alam Insan.
Ketujuh proses perwujudan di atas, keberadaannya terjadi bukan melalui penciptaan, tetapi melalui emanasi (pancaran). Untuk itulah, antara martabat tanzih (transenden atau la ta‘ayyun atau martabat tidak nyata) dengan martabat tasybih (imanen atau ta‘ayyun atau martabat nyata) secara lahiriah keduanya berbeda, tetapi pada hakikatnya keduanya sama.
Seorang Sâlik yang telah mengetahui kedua ilmu ma‘rifatullah, baik Ma‘rifah Tanzih (ilmu yang tak terinderawi) maupun Ma‘rifah Tasybih (ilmu yang terinderawi), ia akan sampai pada tataran tertinggi, yaitu tataran rasa bersatunya manusia dengan Tuhan atau dikenal dengan sebutan Wahdatul-Wujûd.
Uraian tersebut dapat dianalogikan dengan air laut dan ombak. Air laut dan ombak secara lahiriah merupakan dua hal yang berbeda, tetapi pada hakikatnya ombak itu berasal dari air laut sehingga keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisah.
Ketiga, di Nusantara, Hikayat Nur Muhammad merupakan teks yang populer sekitar abad ke-14 M. Ini dibuktikan dengan tersebar luasnya kitab yang berjudul Tarjamah Maulid al-Mustafa bertahun 1351 M (Ali Ahmad, 2005), dan disinggungnya wacana ini dalam kitab Taj al-Muluk, Qishah al-Anbiya, Bustan al-Salatin, atau Hikayat Ali Hanafiah.
Membandingkan apa-apa yang digambarkan oleh Guru Sekumpul berkenaan dengan Nur Muhammad dengan uraian-uraian ulama terdahulu tampaknya tidak jauh berbeda sebagaimana pandangan umum para sufi dalam melihat Nur Muhammad sebagai yang terawal diciptakan dan kemudiannya menjadi sumber dari segala penciptaan.
Di samping itu, menurut Guru Sekumpul maqam Nur Muhammad adalah maqam paling tinggi dari pencarian dan pendakian sufi menuju makrifah kepada Allah, tiada lagi maqam atau stasiun paling tinggi sesudah ini.
Kesimpulannya, berbahagialah orang-orang yang dapat menyandingkan penyatuan sumber asal mula penciptaannya dalam satu harmoni, yakni Nur Muhammad, sebab ia berada pada satu kedudukan yang tinggi dan terbukanya segala hijab yang membatasinya.
Penciptaan Ruh Nabi Muhammad SAW.
Saat Allah Subhanahu wa Ta’ala mengeluarkan keputusan Ilahiah untuk mewujudkan makhluq, Ia pun menciptakan Haqiqat Muhammadaniyyah (Realitas Muhammad –Nuur Muhammad) dari Cahaya-Nya. Ia Subhanahu wa Ta’ala kemudian menciptakan dari Haqiqat ini keseluruhan alam, baik alam atas maupun bawah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala kemudian memberitahu Muhammad akan Kenabiannya, sementara saat itu Adam masih belum berbentuk apa-apa kecuali berupa ruh dan badan. Kemudian darinya (dari Muhammad) keluar tercipta sumber-sumber dari ruh, yang membuat beliau lebih luhur dibandingkan seluruh makhluq ciptaan lainnya, dan menjadikannya pula ayah dari semua makhluq yang wujud.
Dalam Sahih Muslim, Nabi (SAW) bersabda bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menulis Taqdir seluruh makhluq lima puluh ribu tahun (dan tahun di sisi Allah adalah berbeda dari tahun manusia, peny.) sebelum Ia menciptakan Langit dan Bumi, dan `Arasy-Nya berada di atas Air, dan di antara hal-hal yang telah tertulis dalam ad-Dzikir, yang merupakan Umm al-Kitab (induk Kitab), adalah bahwa Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam adalah Penutup para Nabi. Al Irbadh ibn Sariya, berkata bahwa Nabi sall-Allahu ‘alayhi wasallam bersabda, “Menurut Allah, aku sudah menjadi Penutup Para Nabi, ketika Adam masih dalam bentuk tanah liat.”
Maysara al-Dhabbi (ra) berkata bahwa ia bertanya pada Nabi sall-Allahu ‘alayhi wasallam, “Ya RasulAllah, kapankah Anda menjadi seorang Nabi?” Beliau sall-Allahu ‘alayhi wasallam menjawab, “Ketika Adam masih di antara ruh dan badannya.”
Suhail bin Salih Al-Hamadani berkata, “Aku bertanya pada Abu Ja’far Muhammad ibn `Ali radiy-Allahu ‘anhu, `
Bagaimanakah Nabi Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam bisa mendahului nabi-nabi lain sedangkan beliau akan diutus paling akhir?” Abu Ja’far radiy-Allahu ‘anhu menjawab bahwa ketika Allah menciptakan anak-anak Adam (manusia) dan menyuruh mereka bersaksi tentang Diri-Nya (menjawab pertanyaan-Nya, `Bukankah Aku ini Tuhanmu?’), Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam-lah yang pertama menjawab `Ya!’ Karena itu, beliau mendahului seluruh nabi-nabi, sekalipun beliau diutus paling akhir.”
Al-Syaikh Taqiyu d-Diin Al-Subki mengomentari hadits ini dengan mengatakan bahwa karena Allah Ta’ala menciptakan arwah (jamak dari ruh) sebelum tubuh fisik, perkataan Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam “Aku adalah seorang Nabi,” ini mengacu pada ruh suci beliau, mengacu pada hakikat beliau; dan akal pikiran kita tak mampu memahami hakikat-hakikat ini.
Tak seorang pun memahaminya kecuali Dia yang menciptakannya, dan mereka yang telah Allah dukung dengan Nur Ilahiah.
Jadi, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengaruniakan kenabian pada ruh Nabi sall-Allahu ‘alayhi wasallam bahkan sebelum penciptaan Adam; yang Ia telah ciptakan ruh itu, dan Ia limpahkan barakah tak berhingga atas ciptaan ini, dengan menuliskan nama Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam pada `Arasy Ilahiah, dan memberitahu para Malaikat dan lainnya akan penghargaan-Nya yang tinggi bagi beliau (sall-Allahu ‘alayhi wasallam).
Jadi Haqiqat Nabi Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam telah wujud sejak saat itu, meski tubuh ragawinya baru diciptakan kemudian. Al Syi’bi meriwayatkan bahwa seorang laki-laki bertanya, “Ya RasulAllah, kapankah Anda menjadi seorang Nabi?” Beliau menjawab, “ketika Adam masih di antara ruh dan badannya, ketika janji dibuat atasku.” Karena itulah, beliau (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) adalah yang pertama diciptakan di antara para Nabi, dan yang terakhir diutus.
Diriwayatkan bahwa Nabi (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) adalah satu-satunya yang diciptakan keluar dari sulbi Adam sebelum ruh Adam ditiupkan pada badannya, karena beliau (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) adalah sebab dari diciptakannya manusia, beliau (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) adalah junjungan mereka, substansi mereka, ekstraksi mereka, dan mahkota dari kalung mereka.
`Ali ibn Abi Thalib karram-Allahu wajhahu dan Ibn `Abbas radiy-Allahu ‘anhu keduanya meriwayatkan bahwa Nabi (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) bersabda, “Allah tak pernah mengutus seorang nabi, dari Adam dan seterusnya, melainkan sang Nabi itu harus melakukan perjanjian dengan-Nya berkenaan dengan Muhammad (sall-Allahu ‘alayhi wasallam): seandainya Muhammad (SAW) diutus di masa hidup sang Nabi itu, maka ia harus beriman pada beliau (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) dan mendukung beliau (sall-Allahu ‘alayhi wasallam), dan Nabi itu pun harus mengambil janji yang serupa dari ummatnya.
Diriwayatkan bahwa ketika Allah SWT menciptakan Nur Nabi kita Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan padanya untuk memandang pada nur-nur dari Nabi-nabi lainnya.
Cahaya beliau melingkupi cahaya mereka semua, dan Allah SWT membuat mereka berbicara, dan mereka pun berkata, “Wahai, Tuhan kami, siapakah yang meliputi diri kami dengan cahayanya?”
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjawab, “Ini adalah cahaya dari Muhammad ibn `Abdullah; jika kalian beriman padanya akan Kujadikan kalian sebagai nabi-nabi.”
Mereka menjawab, “Kami beriman padanya dan pada kenabiannya.”
Allah berfirman, “Apakah Aku menjadi saksimu?”
Mereka menjawab, “Ya.”
Allah berfirman, “Apakah kalian setuju, dan mengambil perjanjian dengan-Ku ini sebagai mengikat dirimu?”
Mereka menjawab, “Kami setuju.” Allah berfirman, “Maka saksikanlah (hai para Nabi), dan Aku menjadi saksi (pula) bersamamu.”(QS 3:81).
Inilah makna dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala. “Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: `Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hukmah, kemudian datang kepadamu seorang Rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya.’” (QS 3:81).
Syaikh Taqiyyud Diin al-Subki mengatakan, “Dalam ayat mulia ini, tampak jelas penghormatan kepada Nabi (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) dan pujian atas kemuliaannya. Ayat ini juga menunjukkan bahwa seandainya beliau diutus di zaman Nabi-nabi lain itu, maka risalah da’wah beliau pun harus diikuti oleh mereka.
Karena itulah, kenabiannya dan risalahnya adalah universal dan umum bagi seluruh ciptaan dari masa Adam hingga hari Pembalasan, dan seluruh Nabi beserta ummat mereka adalah termasuk pula dalam ummat beliau sall-Allahu ‘alayhi wasallam.
Jadi, sabda sayyidina Muhammad (sall-Allahu ‘alayhi wasallam), “Aku telah diutus bagi seluruh ummat manusia,” bukan hanya ditujukan bagi orang-orang di zaman beliau hingga Hari Pembalasan, tapi juga meliputi mereka yang hidup sebelumnya. Hal ini menjelaskan lebih jauh perkataan beliau, “Aku adalah seorang Nabi ketika Adam masih di antara ruh dan badannya.”
Berpijak dari hal ini, Muhammad (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) adalah Nabi dari para nabi, sebagaimana telah pula jelas saat malam Isra’ Mi’raj, saat mana para Nabi melakukan salat berjama’ah di belakang beliau (yang bertindak selaku Imam). Keunggulan beliau ini akan menjadi jelas nanti di Akhirat, saat seluruh Nabi akan berkumpul di bawah bendera beliau.
Barokallah.
~ edwinengelen
Alimul Fadhil H. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani al-Banjari (Guru Sekumpul) pernah menyinggung dan menguraikan pembahasan tentang salah satu tema yang selalu aktual diperbincangkan dalam dunia tasawuf, yakni wacana tentang ‘Nur Muhammad’ dalam salah satu pengajian beliau di Komplek al-Raudah Sekumpul Martapura.
Untuk membutiri kembali pandangan tentang Nur Muhammad dimaksud seiring dengan peringatan haul beliau yang ke-5 tahun ini (5 Rajab 1431 H ─ 17 Juni 2010 M) berikut tulisan ini dihadirkan guna pencerahan.
Apakah yang dimaksud dengan Nur Muhammad tersebut?
Dalam kitab Hikayat Nur Muhammad diceritakan bahwa tubuh manusia (anak Adam) mengandungi tiga unsur, yakni jasad, hati dan roh. Di dalam roh terdapat hakikat, di dalam hakikat tersimpan rahasia, rahasia itulah yang dinamakan makrifah Allah. Di dalam makrifah pula ada zat yang tidak menyerupai sesuatu pun.
Rahasia atau makrifah Allah ini dinamakan Insan Kamil. Insan Kamil dijadikan dari Nur yang melimpah dari zat Haqq Ta’ala.
Menurut riwayat, sumber cerita tentang kejadian Nur Muhammad ini bermula dari biografi Nabi Muhammad yang ditulis oleh Ibnu Ishaq (sejarawan Islam). Dalam biografi tersebut, Ibnu Ishaq ada mencatat riwayat yang menyatakan bahwa Allah telah menciptakan Nur Muhammad dan Nur itu telah diwarisi melalui generasi nabi-nabi hingga ia sampai kepada Abdullah bin Abdul Muthalib dan turun kepada Nabi Muhammad Saw.
Kemudian terdapat sejumlah hadits yang menerangkan tentang Nur tersebut, antaranya, “Sesungguhnya yang mula-mula dijadikan oleh Allah adalah cahaya-ku (Nur Muhammad)………”.
Beragam pandangan terhadap hadis ini, ada yang menyatakan maudhu’ (tertolak), dhaif (lemah), bersumber dari falsafah Yunani, tetapi ada pula yang menyatakan bahwa riwayat tersebut boleh diterima karenanya sanadnya bersambung.
Hadits tersebut cukup panjang matannya dan diringkas sebagai berikut: “Dan telah meriwayatkan oleh Abdul Razak dengan sanadnya dari Jabir bin Abdullah ra, beliau berkata: “Ya Rasulullah, demi bapaku, engkau dan ibuku, khabarkanlah daku berkenaan awal-awal sesuatu yang Allah telah ciptakan sebelum sesuatu! Bersabda Nabi Saw: “Ya Jabir, sesungguhnya Allah menciptakan sebelum sesuatu, Nur Nabi-mu daripada Nur-Nya’.
Maka jadilah Nur tersebut berkeliling dengan Qudrat-Nya sekira-kira yang dihendaki Allah. Padahal tiada pada waktu itu lagi sesuatu pun; tidak ada lauh mahfuzh, qalam, sorga, neraka, Malaikat, langit, bumi, matahari, bulan, jin dan manusia; tiada apa-apa yang diciptakan, kecuali Nur ini.
Dari Nur inilah kemudian diciptakan-Nya qalam, lauh mahfuzh dan Arsy. Allah kemudian memerintahkan qalam untuk menulis, dan qalam bertanya, “Ya Allah, apa yang harus saya tulis?” Allah berfirman: “Tulislah La ilaha illallah Muhammad Rasulullah.” Atas perintah itu qalam berseru: “Oh, betapa sebuah nama yang indah dan agung Muhammad itu, bahwa dia disebut bersama Asma-Mu yang Suci, ya Allah.” Allah kemudian berkata, “Wahai qalam, jagalah kelakuanmu ! Nama ini adalah nama kekasih-Ku, dari Nur-nya Aku menciptakan arsy, qalam dan lauh mahfuzh; kamu, juga diciptakan dari Nur-nya. Jika bukan karena dia, Aku tidak akan menciptakan apa pun.”
Ketika Allah telah mengatakan kalimat tersebut, qalam itu terbelah dua karena takutnya akan Allah dan tempat dari mana kata-katanya tadi keluar menjadi tertutup, sehingga sampai dengan hari ini ujung nya tetap terbelah dua dan tersumbat, sehingga dia tidak menulis, sebagai tanda dari rahasia ilahiah yang agung.
Maka, jangan seorangpun gagal dalam memuliakan dan menghormati Nabi Suci, atau menjadi lalai dalam mengikuti contohnya (Nabi) yang cemerlang, atau membangkang dan meninggalkan kebiasaan mulia yang diajarkannya kepada kita.………dan seterusnya.
Bagaimana penjelasan Guru Sekumpul tentang Nur Muhammad tersebut? Secara ringkas penjelasan beliau sebagaimana konten materi pengajian yang bertemakan tentang ‘Kesempurnaan’ (penjelasan ini bahkan beliau ulang-ulang tidak kurang dari tiga kali) boleh diringkaskan sebagai berikut:
Beliau memulai penjelasannya dengan ungkapan yang sangat dikenal dalam dunia tasawuf, di mana untuk mengenal Tuhan seseorang harus terlebih dahulu mengenal akan dirinya.
Maksudnya, untuk sampai kepada pengenalan terhadap Tuhan, menurut Guru Sekumpul haruslah terlebih dahulu dipahami dua hal.
Pertama, ia harus terlebih dahulu mengenal asal mula akan kejadian dirinya sendiri, dari mana, di mana dan bagaimana ia dijadikan?
Kedua, ia harus terlebih dahulu mengetahui apa sesuatu yang mula-mula dijadikan oleh Allah SWT.
Kedua perkara di atas menjadi prasyarat kesempurnaan bagi para penuntut (salik) dalam mengenal (makrifah) kepada Allah.
Adapun yang mula-mula dijadikan oleh Allah adalah Nur Muhammad SAW yang kemudiannya dari Nur Muhammad inilah Allah jadikan roh dan jasad alam semesta.
Bermula dari Nur Muhammad inilah maka sekalian roh (dan roh manusia) diciptakan Allah sedangkan jasad manusia diciptakan mengikut kepada dan dari jasad Nabi Adam as. Karena itu, Nabi Muhammad Saw adalah ‘nenek moyang roh’ sedangkan Nabi Adam as adalah ‘nenek moyang jasad’.
Hakikat dari penciptaan Adam as sendiri adalah berasal dari tanah (Nur Turab), tanah berasal dari air, air berasal dari angin, angin berasal dari api, dan api itu sendiri berasal dari Nur Muhammad.
Sehingga pada prinsipnya roh manusia diciptakan berasal dari Nur Muhammad dan jasad atau tubuh manusia pun hakikatnya berasal dari Nur Muhammad. Jadilah kemudian ‘cahaya di atas cahaya’ (QS. An-Nuur 35), di mana roh yang mengandung Nur Muhammad ditiupkan kepada jasad yang juga mengandung Nur Muhammad.
Bertemu dan meleburlah kemudian roh dan jasad yang berisikan Nur Muhammad ke dalam hakikat Nur Muhammad yang sebenarnya. Tersebab bersumber pada satu wujud dan nama yang sama, maka roh dan jasad tersebut haruslah disatukan dengan mesra menuju kepada pengenalan Yang Maha Mutlak, Zat Wajibul Wujud yang memberi cahaya kepada langit dan bumi, dan yang semula menciptakan, sebagaimana mesranya hubungan antara air dan tumbuhan, di mana ada air di situ ada tumbuhan, dan dengan airlah segala makhluk dihidupkan (QS. Al-Anbiya 30).
Pengenalan terhadap hakikat Nur Muhammad inilah maqam atau stasiun yang terakhir dari pencarian akan makrifah kepada Allah, Martabat Nur Muhammad inilah martabat yang paling tinggi, dan pengenalan akan Nur Muhammad inilah yang menjadi ‘kesempurnaan ilmu atau ilmu yang sempurna’.
Menarik untuk mengkaji ulang penjelasan Guru Sekumpul di atas dengan membandingkannya kepada penjelasan tokoh-tokoh tasawuf yang juga membahas dan menyinggung tentang wacana ini.
Al-Hallaj yang mencetuskan teori hulul misalnya menyatakan bahwa Nur Muhammad mempunyai dua bentuk, yakni Nabi Muhammad yang dilahirkan dan menjadi cahaya rahmat bagi alam “tidaklah engkau diutus wahai (Muhammad Rasulullah Saw) melainkan menjadi rahmat bagi seluruh alam” (martabat al-a’yanu’l Kharijiyyah) dan yang berbentuk Nur (martabat a’yanu’l Thabitah).
Nur Muhammad adalah cahaya semula yang melewati dari Nabi Adam ke nabi yang lain bahkan berlanjut kepada para imam maupun wali; cahaya melindungi mereka dari perbuatan dosa (maksum); dan mengaruniai mereka dengan pengetahuan tentang rahasia-rahasia Illahi.
Allah telah menciptakan Nur Muhammad jauh sebelum diciptakan Adam as. Lalu, Allah menunjukkan kepada para malaikat dan makhluk lainnya, bahwa: “Inilah makhluk Allah yang paling mulia”. Oleh itu, harus dibedakan antara konsep Nur (Muhammad) sebagai manusia biasa (seorang Nabi) dan Nur Muhammad secara dimensi spiritual yang tidak dapat digambarkan dalam dimensi fisik dan realitas.
Menurut sufi, Muhyiddin Ibn Arabi, Nur Muhammad sebagai prinsip aktif di dalam semua pewahyuan dan inspirasi. Melalui Nur ini pengetahuan yang kudus itu diturunkan kepada semua nabi, tetapi hanya kepada Ruh Muhammad saja diberikan jawami al-qalim (firman universal).
Sedangkan menurut pencetus teori ‘insan kamil’, Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili (1365-1428 M) dalam karyanya, al-Insan al-Kamil fî Ma’rifat al-Awakhir wa al-Awa’il (Manusia Sempurna dalam Mengetahui Allah Sejak Awal hingga Akhirnya), menyatakan bahwa Nur Muhammad memiliki banyak nama sebanyak aspek yang dimilikinya. Ia disebut ruh dan malak apabila dikaitkan dengan ketinggiannya.
Tidak ada kekuasaan makhluk yang melebihinya, semuanya tunduk mengitarinya, karena ia kutub dari segenap malak. Ia disebut al-Haqq al Makhluq bih, (al-Haqq sebagai alat pencipta), hanya Allah yang tahu hakikatnya secara pasti. Dia disebut al-Qalam al-A’la (pena tertinggi) dan al-Aql al-Awal (akal pertama) karena wadah pengetahuan Tuhan terhadap alam maujud, dan Tuhanlah yang menuangkan sebagian pengetahuannya kepada makhluk.
Adapun disebut al-Ruh al-Ilahi (ruh ketuhanan) karena ada kaitannya dengan ruh al-Quds (ruh Tuhan), al-Amin (ruh yang jujur) adalah karena ia adalah perbendaharaan ilmu tuhan dan dapat dipercayai-Nya. Oleh itu, menurut Al-Jili, lokus tajalli al-Haq yang paling sempurna adalah Nur Muhammad. Nur Muhammad ini telah ada sejak sebelum alam ini ada, ia bersifat qadim lagi azali. Nur Muhammad itu berpindah dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam berbagai bentuk para nabi, yakni Adam, Nuh, Ibrahim, Musa hingga dalam bentuk nabi penutup (khatamun nabiyyin), Muhammad Saw.
Banyak lagi penjelasan dan pembahasan tentang Nur Muhammad dimaksud. Karena, memang sejak awal kedatangan dan perkembangan Islam di ‘Bumi Nusantara’, wacana Nur Muhammad dalam berbagai konteksnya sehingga sekarang, telah menarik perhatian umat Islam. Hal ini paling tidak didukung oleh tiga faktor.
Pertama, terlihat dari banyaknya salinan yang beredar pada masa itu berkenaan dengan ‘Hikayat Nur Muhammad’ Misalnya, Hikayat Nur Muhammad naskah Betawi yang disalin pada tahun 1668 M oleh Ahmad Syamsuddin Syah. Menurut Ali Ahmad (2005) sehingga sekarang, sekurang-kurangnya terdapat tujuh versi Hikayat Nur Muhammad.
Kedua, apresiasi terhadap konsep Nur Muhammad telah mendorong lahirnya karya klasik ulama Nusantara yang secara khusus berisikan pembahasan tentang teori ini. Antaranya adalah kitab Asrar al-Insan fi Makrifah al-Ruh wa al-Rahman karya Nuruddin al-Raniri (Aceh), tiga kitab karangan Hamzah Fansuri (Barus-Aceh); Asrar al-‘Arifin, Syarab al-‘Asyiqin, dan al-Muntahi, serta Nur al-Daqa’iq oleh Syamsuddin al-Sumaterani (Pasai).
Dalam kitab Asrar al-Insan dijelaskan bahwa Allah menjadikan Nur Muhammad dari tajalli (manifestasi) sifat Jamal-Nya dan Jalal-Nya, maka jadilah Nur Muhammad itu khalifah di langit dan di bumi; Nur Muhammad adalah asal segala kejadian di langit dan di bumi.
Di dalam kitab Asrar al-’Arifin dibincangkan teori wahdah al-wujud yang semula diperkenalkan oleh Abdullah Arif dalam Bahr al-Lahut dan Ibnu Arabi, kemudian dikembangkan lagi oleh Muhammad bin Fadhlullah al-Burhanpuri melalui teori Martabat Tujuh dalam kitab Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabi.
Kemudian, dalam al-Muntahi, Hamzah menyatakan bahwa wujud itu satu yaitu wujud Allah yang mutlak. Wujud itu bertajalli dalam dua martabat; ahadiyah dan wahidiyah. Dalam kitab Nur al-Daqa’iq juga dibahas tentang wujudiyah dan martabat tujuh.
Variasi teori Nur Muhammad dalam bentuk martabat tujuh boleh didapati pembahasannya dalam beberapa kitab yang ditulis oleh ulama Melayu Nusantara, antaranya adalah dibahas dalam kitab Siyarus Salikin yang dikarang oleh Syekh Abdul Shamad al-Palimbani; kitab Manhalus Syafi (Uthman el-Muhammady, 2003) yang dikarang oleh Syekh Daud bin Abdullah al-Fathani;
Pengenalan terhadap Ajaran Martabat Tujuh yang dikarang atau dinukilkan kepada Syekh Abdul Muhyi Pamijahan; dan kitab al-Durr al-Nafis yang di karang oleh Syekh Muhammad Nafis al-Banjari. Oleh itu, Syekh Muhammad Nafis al-Banjari dengan kitabnya Al-Durr al-Nafis ditegaskan oleh Wan Mohd Shagir Abdullah (2000) sebagai salah seorang ulama Banjar penganjur ajaran tasawuf Martabat Tujuh di Nusantara.
Dalam teori martabat tujuh dipahami bahwa dunia manusia merupakan dunia perubahan dan pergantian, tidak ada sesuatu yang tetap di dalamnya. Segalanya akan selalu berubah, memudar, dan setelah itu akan mati. Oleh karena itulah, manusia ingin berusaha mengungkap hakikat dirinya agar dapat hidup kekal seperti Yang Menciptakannya.
Untuk mengungkap hakikat dirinya, manusia memerlukan seperangkat pengetahuan batin yang hanya dapat dilihat dengan mata hati yang ada dalam sanubarinya. Seperangkat pengetahuan yang dimaksud adalah ilmu ma‘rifatullah.
Ilmu ma’rifatullah merupakan suatu pengetahuan yang dapat dijadikan pedoman bagi manusia untuk mengenal dan mengetahui Allah. Ilmu ma‘rifatullah terbahagi menjadi dua macam, yaitu ilmu ‘makrifat tanzih’ (transeden) dan ‘ilmu makrifat tasybih’ (imanen).
Tuhan menyatakan diri-Nya dalam Tujuh Martabat, yaitu martabat pertama disebut martabat tanzih (la ta‘ayyun atau martabat tidak nyata, tak terinderawi) dan martabat kedua sampai dengan martabat ketujuh disebut martabat tasybih (ta‘ayyun atau martabat nyata, terinderawi).
Yakni, martabat Ahadiyyah (ke-’ada’-an Zat yang Esa); martabat Ahadiyyah (ke-’ada’-an Zat yang Esa); martabat Wahidiyyah (ke-’ada’-an asma yang meliputi hakikat realitas keesaan); Keempat, martabat Alam Arwah; martabat Alam Mitsal; martabat Alam Ajsam (alam benda); dan martabat Alam Insan.
Ketujuh proses perwujudan di atas, keberadaannya terjadi bukan melalui penciptaan, tetapi melalui emanasi (pancaran). Untuk itulah, antara martabat tanzih (transenden atau la ta‘ayyun atau martabat tidak nyata) dengan martabat tasybih (imanen atau ta‘ayyun atau martabat nyata) secara lahiriah keduanya berbeda, tetapi pada hakikatnya keduanya sama.
Seorang Sâlik yang telah mengetahui kedua ilmu ma‘rifatullah, baik Ma‘rifah Tanzih (ilmu yang tak terinderawi) maupun Ma‘rifah Tasybih (ilmu yang terinderawi), ia akan sampai pada tataran tertinggi, yaitu tataran rasa bersatunya manusia dengan Tuhan atau dikenal dengan sebutan Wahdatul-Wujûd.
Uraian tersebut dapat dianalogikan dengan air laut dan ombak. Air laut dan ombak secara lahiriah merupakan dua hal yang berbeda, tetapi pada hakikatnya ombak itu berasal dari air laut sehingga keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisah.
Ketiga, di Nusantara, Hikayat Nur Muhammad merupakan teks yang populer sekitar abad ke-14 M. Ini dibuktikan dengan tersebar luasnya kitab yang berjudul Tarjamah Maulid al-Mustafa bertahun 1351 M (Ali Ahmad, 2005), dan disinggungnya wacana ini dalam kitab Taj al-Muluk, Qishah al-Anbiya, Bustan al-Salatin, atau Hikayat Ali Hanafiah.
Membandingkan apa-apa yang digambarkan oleh Guru Sekumpul berkenaan dengan Nur Muhammad dengan uraian-uraian ulama terdahulu tampaknya tidak jauh berbeda sebagaimana pandangan umum para sufi dalam melihat Nur Muhammad sebagai yang terawal diciptakan dan kemudiannya menjadi sumber dari segala penciptaan.
Di samping itu, menurut Guru Sekumpul maqam Nur Muhammad adalah maqam paling tinggi dari pencarian dan pendakian sufi menuju makrifah kepada Allah, tiada lagi maqam atau stasiun paling tinggi sesudah ini.
Kesimpulannya, berbahagialah orang-orang yang dapat menyandingkan penyatuan sumber asal mula penciptaannya dalam satu harmoni, yakni Nur Muhammad, sebab ia berada pada satu kedudukan yang tinggi dan terbukanya segala hijab yang membatasinya.
Penciptaan Ruh Nabi Muhammad SAW.
Saat Allah Subhanahu wa Ta’ala mengeluarkan keputusan Ilahiah untuk mewujudkan makhluq, Ia pun menciptakan Haqiqat Muhammadaniyyah (Realitas Muhammad –Nuur Muhammad) dari Cahaya-Nya. Ia Subhanahu wa Ta’ala kemudian menciptakan dari Haqiqat ini keseluruhan alam, baik alam atas maupun bawah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala kemudian memberitahu Muhammad akan Kenabiannya, sementara saat itu Adam masih belum berbentuk apa-apa kecuali berupa ruh dan badan. Kemudian darinya (dari Muhammad) keluar tercipta sumber-sumber dari ruh, yang membuat beliau lebih luhur dibandingkan seluruh makhluq ciptaan lainnya, dan menjadikannya pula ayah dari semua makhluq yang wujud.
Dalam Sahih Muslim, Nabi (SAW) bersabda bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menulis Taqdir seluruh makhluq lima puluh ribu tahun (dan tahun di sisi Allah adalah berbeda dari tahun manusia, peny.) sebelum Ia menciptakan Langit dan Bumi, dan `Arasy-Nya berada di atas Air, dan di antara hal-hal yang telah tertulis dalam ad-Dzikir, yang merupakan Umm al-Kitab (induk Kitab), adalah bahwa Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam adalah Penutup para Nabi. Al Irbadh ibn Sariya, berkata bahwa Nabi sall-Allahu ‘alayhi wasallam bersabda, “Menurut Allah, aku sudah menjadi Penutup Para Nabi, ketika Adam masih dalam bentuk tanah liat.”
Maysara al-Dhabbi (ra) berkata bahwa ia bertanya pada Nabi sall-Allahu ‘alayhi wasallam, “Ya RasulAllah, kapankah Anda menjadi seorang Nabi?” Beliau sall-Allahu ‘alayhi wasallam menjawab, “Ketika Adam masih di antara ruh dan badannya.”
Suhail bin Salih Al-Hamadani berkata, “Aku bertanya pada Abu Ja’far Muhammad ibn `Ali radiy-Allahu ‘anhu, `
Bagaimanakah Nabi Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam bisa mendahului nabi-nabi lain sedangkan beliau akan diutus paling akhir?” Abu Ja’far radiy-Allahu ‘anhu menjawab bahwa ketika Allah menciptakan anak-anak Adam (manusia) dan menyuruh mereka bersaksi tentang Diri-Nya (menjawab pertanyaan-Nya, `Bukankah Aku ini Tuhanmu?’), Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam-lah yang pertama menjawab `Ya!’ Karena itu, beliau mendahului seluruh nabi-nabi, sekalipun beliau diutus paling akhir.”
Al-Syaikh Taqiyu d-Diin Al-Subki mengomentari hadits ini dengan mengatakan bahwa karena Allah Ta’ala menciptakan arwah (jamak dari ruh) sebelum tubuh fisik, perkataan Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam “Aku adalah seorang Nabi,” ini mengacu pada ruh suci beliau, mengacu pada hakikat beliau; dan akal pikiran kita tak mampu memahami hakikat-hakikat ini.
Tak seorang pun memahaminya kecuali Dia yang menciptakannya, dan mereka yang telah Allah dukung dengan Nur Ilahiah.
Jadi, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengaruniakan kenabian pada ruh Nabi sall-Allahu ‘alayhi wasallam bahkan sebelum penciptaan Adam; yang Ia telah ciptakan ruh itu, dan Ia limpahkan barakah tak berhingga atas ciptaan ini, dengan menuliskan nama Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam pada `Arasy Ilahiah, dan memberitahu para Malaikat dan lainnya akan penghargaan-Nya yang tinggi bagi beliau (sall-Allahu ‘alayhi wasallam).
Jadi Haqiqat Nabi Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam telah wujud sejak saat itu, meski tubuh ragawinya baru diciptakan kemudian. Al Syi’bi meriwayatkan bahwa seorang laki-laki bertanya, “Ya RasulAllah, kapankah Anda menjadi seorang Nabi?” Beliau menjawab, “ketika Adam masih di antara ruh dan badannya, ketika janji dibuat atasku.” Karena itulah, beliau (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) adalah yang pertama diciptakan di antara para Nabi, dan yang terakhir diutus.
Diriwayatkan bahwa Nabi (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) adalah satu-satunya yang diciptakan keluar dari sulbi Adam sebelum ruh Adam ditiupkan pada badannya, karena beliau (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) adalah sebab dari diciptakannya manusia, beliau (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) adalah junjungan mereka, substansi mereka, ekstraksi mereka, dan mahkota dari kalung mereka.
`Ali ibn Abi Thalib karram-Allahu wajhahu dan Ibn `Abbas radiy-Allahu ‘anhu keduanya meriwayatkan bahwa Nabi (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) bersabda, “Allah tak pernah mengutus seorang nabi, dari Adam dan seterusnya, melainkan sang Nabi itu harus melakukan perjanjian dengan-Nya berkenaan dengan Muhammad (sall-Allahu ‘alayhi wasallam): seandainya Muhammad (SAW) diutus di masa hidup sang Nabi itu, maka ia harus beriman pada beliau (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) dan mendukung beliau (sall-Allahu ‘alayhi wasallam), dan Nabi itu pun harus mengambil janji yang serupa dari ummatnya.
Diriwayatkan bahwa ketika Allah SWT menciptakan Nur Nabi kita Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan padanya untuk memandang pada nur-nur dari Nabi-nabi lainnya.
Cahaya beliau melingkupi cahaya mereka semua, dan Allah SWT membuat mereka berbicara, dan mereka pun berkata, “Wahai, Tuhan kami, siapakah yang meliputi diri kami dengan cahayanya?”
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjawab, “Ini adalah cahaya dari Muhammad ibn `Abdullah; jika kalian beriman padanya akan Kujadikan kalian sebagai nabi-nabi.”
Mereka menjawab, “Kami beriman padanya dan pada kenabiannya.”
Allah berfirman, “Apakah Aku menjadi saksimu?”
Mereka menjawab, “Ya.”
Allah berfirman, “Apakah kalian setuju, dan mengambil perjanjian dengan-Ku ini sebagai mengikat dirimu?”
Mereka menjawab, “Kami setuju.” Allah berfirman, “Maka saksikanlah (hai para Nabi), dan Aku menjadi saksi (pula) bersamamu.”(QS 3:81).
Inilah makna dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala. “Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: `Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hukmah, kemudian datang kepadamu seorang Rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya.’” (QS 3:81).
Syaikh Taqiyyud Diin al-Subki mengatakan, “Dalam ayat mulia ini, tampak jelas penghormatan kepada Nabi (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) dan pujian atas kemuliaannya. Ayat ini juga menunjukkan bahwa seandainya beliau diutus di zaman Nabi-nabi lain itu, maka risalah da’wah beliau pun harus diikuti oleh mereka.
Karena itulah, kenabiannya dan risalahnya adalah universal dan umum bagi seluruh ciptaan dari masa Adam hingga hari Pembalasan, dan seluruh Nabi beserta ummat mereka adalah termasuk pula dalam ummat beliau sall-Allahu ‘alayhi wasallam.
Jadi, sabda sayyidina Muhammad (sall-Allahu ‘alayhi wasallam), “Aku telah diutus bagi seluruh ummat manusia,” bukan hanya ditujukan bagi orang-orang di zaman beliau hingga Hari Pembalasan, tapi juga meliputi mereka yang hidup sebelumnya. Hal ini menjelaskan lebih jauh perkataan beliau, “Aku adalah seorang Nabi ketika Adam masih di antara ruh dan badannya.”
Berpijak dari hal ini, Muhammad (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) adalah Nabi dari para nabi, sebagaimana telah pula jelas saat malam Isra’ Mi’raj, saat mana para Nabi melakukan salat berjama’ah di belakang beliau (yang bertindak selaku Imam). Keunggulan beliau ini akan menjadi jelas nanti di Akhirat, saat seluruh Nabi akan berkumpul di bawah bendera beliau.
Barokallah.
Komentar
Posting Komentar